Sunday, November 20, 2011

Psikologi Perkembangan : Perkembangan kognitif


PERKEMBANGAN KOGNITIF

I.            DASAR AWAL KOGNITIF
1.      Pengindraan dan Persepsi
Pengindraan (sensation) merupakan deteksi dari stimulasi sensorik, sementara persepsi merupakan interpretasi dari apa yang telah diterima oleh alat indra. Pendengaran dan penglihatan merupakan alat indra yang paling banyak digunakan dalam proses belajar manusia. Pengindraan menunjukkan sebuah proses yang menghasilkan persepsi yang menjadi cerminan kognitif seseorang.
2.      Proses Dasar Belajar
Belajar merupakan istilah sederhana yang memiliki makna yang kompleks. Belajar merupakan perubahan permanen dalam perilaku yang disebabkan karena pengalaman (pengulangan, praktik, menuntut ilmu, atau observasi) dan bukan karena hereditas, kematangan, atau perubahan fisiologis karena cedera. Dasar awal belajar dimulai dari pembiasaan, pengondisian dan peniruan. Pembiasaan adalah proses dimana kita menghentikan pemberian stimulus yang diulang secara terus menerus. Habituasi dapat dikatakan terjadi jika orang merasa tidak ada lagi hal yang baru dari stimulus itu.  Pengondisian adalah pemasangan stimulus indrawi dengan stimulus netral. Sedangkan peniruan dilakukan dengan menggunakan imitasi atau model, baik dalam lingkungan sehari-hari ataupun yang lain.

II.            TAHAP PERKEMBANGAN KOGNITIF
Perkembangan kognitif merupakan perubahan kemampuan berpikir atau intelektual. Menurut Piaget, kognitif merupakan kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia:
·         Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan:
1.      Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
2.      Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
3.      Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
4.      Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
5.      Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
6.      Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas

·         Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan.

·         Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
1.      Pengurutan—kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.
2.      Klasifikasi—kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan)
3.      Decentering—anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
4.      Reversibility—anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
5.      Konservasi—memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.
6.      Penghilangan sifat Egosentrisme—kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.

·         Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.



III.            INTELEGENSI
Kata intelegensi merupakan kata yang cukup sering terdengar untuk menggambarkan kecerdasan seseorang. Piaget mendefinisikan intelegensi sebagai pikiran atau tindakan adaptif. Selain itu, intelegensi juga dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk berpikir abstrak dan menyelesaikan masalah secara efektif. Intelegensi tidak terlepas dari proses berpikir manusia.
1.      Intelegensi : Pengukuran Kemampuan Pemecahan Masalah dan Logika Linear.
Perbedaan kemampuan dalam logika linear dan berpikir rasional menunjukkan bahwa pengukuran terhadap kemampuan intelektual dapat dilakukan untuk meramalkan tingkat keberhasilan seseorang di masa akan datang. Masing-masing kemampuan berbeda-beda dan berhubungan dengan daerah otak yang berlainan. Dari sudut perkembangan, IQ dianggap lebih memiliki dasar genetik daripada lingkungan. IQ masih dapat ditingkatkan dengan cara memperkaya lingkungan rumah dan luar rumah.
2.      Intelegensi Kreativitas dan Emosional
Proses berpikir yang memungkinkan untuk melakukan perbandingan, menemukan asosiasi, menentukan alternatif dan melakukan evaluasi adalah proses yang mendasari berpikir kreatif (creative quotient) dan kecerdasan emosional (emotional quotient). Berpikir kreatif, dihubungkan dengan kemampuan untuk berfikir divergen yaitu mencari berbagai variasi dalam pemecahan suatu masalah sehingga belum tentu ada jawaban benar atau salah. Sedangkan kecerdasan emosional melibatkan kemampuan menagtur emosi diri sendiri dan orang lain, membedakannya dan menggunakan informasi tersebut sebagai pegangan pikiran dan tindakan.
3.      Intelegensi Spiritual
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna, pandangan dan nilai untuk menempatkan perilaku dan hidup manusia. Kecerdasan spiritual merupakan kekuatan yang mendasari keberadaan agama, merupakan kecerdasan jiwa atau kecerdasan diri yang paling mendalam.

Reference:
Hasan, Aliah B.Purwakania. 2008. Psikologi Perkembangan Islami: menyingkap rahasia rentang kehidupan manusia dari prakelahiran hingga pascakematian. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

0 komentar:

Post a Comment