PERKEMBANGAN
KOGNITIF
I.
DASAR AWAL KOGNITIF
1. Pengindraan
dan Persepsi
Pengindraan (sensation)
merupakan deteksi dari stimulasi sensorik, sementara persepsi merupakan
interpretasi dari apa yang telah diterima oleh alat indra. Pendengaran dan
penglihatan merupakan alat indra yang paling banyak digunakan dalam proses
belajar manusia. Pengindraan menunjukkan sebuah proses yang menghasilkan
persepsi yang menjadi cerminan kognitif seseorang.
2. Proses
Dasar Belajar
Belajar merupakan istilah
sederhana yang memiliki makna yang kompleks. Belajar merupakan perubahan
permanen dalam perilaku yang disebabkan karena pengalaman (pengulangan,
praktik, menuntut ilmu, atau observasi) dan bukan karena hereditas, kematangan,
atau perubahan fisiologis karena cedera. Dasar awal belajar dimulai dari
pembiasaan, pengondisian dan peniruan. Pembiasaan adalah proses dimana kita
menghentikan pemberian stimulus yang diulang secara terus menerus. Habituasi
dapat dikatakan terjadi jika orang merasa tidak ada lagi hal yang baru dari
stimulus itu. Pengondisian adalah
pemasangan stimulus indrawi dengan stimulus netral. Sedangkan peniruan
dilakukan dengan menggunakan imitasi atau model, baik dalam lingkungan sehari-hari
ataupun yang lain.
II.
TAHAP PERKEMBANGAN KOGNITIF
Perkembangan kognitif merupakan perubahan
kemampuan berpikir atau intelektual. Menurut Piaget, kognitif merupakan
kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan
operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat
periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia:
·
Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi
dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut.
Tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam
enam sub-tahapan:
1.
Sub-tahapan skema refleks,
muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan
refleks.
2.
Sub-tahapan fase reaksi
sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan
terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
3.
Sub-tahapan fase reaksi sirkular
sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan
terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
4.
Sub-tahapan koordinasi reaksi
sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat
berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau
kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
5.
Sub-tahapan fase reaksi
sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan
dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
·
Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan
gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis.
Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak
dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu
sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya.
Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain
semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan
menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan.
·
Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
Proses-proses penting selama
tahapan ini adalah:
1. Pengurutan—kemampuan untuk mengurutan
objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda
berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke
yang paling kecil.
2. Klasifikasi—kemampuan untuk memberi nama
dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau
karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat
menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki
keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda
hidup dan berperasaan)
3. Decentering—anak mulai mempertimbangkan
beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh
anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya
dibanding cangkir kecil yang tinggi.
4. Reversibility—anak mulai memahami bahwa
jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk
itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama
dengan 4, jumlah sebelumnya.
5. Konservasi—memahami bahwa kuantitas,
panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan
atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak
diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air
dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap
sama banyak dengan isi cangkir lain.
6. Penghilangan
sifat Egosentrisme—kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan
saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan
komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu
meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci,
setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan
mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau
anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.
·
Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap
ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara
logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini,
seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia
tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada
"gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan
besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral,
perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak
sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai
keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran
dari tahap operasional konkrit.
III.
INTELEGENSI
Kata intelegensi merupakan kata yang
cukup sering terdengar untuk menggambarkan kecerdasan seseorang. Piaget
mendefinisikan intelegensi sebagai pikiran atau tindakan adaptif. Selain itu,
intelegensi juga dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk berpikir abstrak
dan menyelesaikan masalah secara efektif. Intelegensi tidak terlepas dari
proses berpikir manusia.
1. Intelegensi :
Pengukuran Kemampuan Pemecahan Masalah dan Logika Linear.
Perbedaan kemampuan dalam logika
linear dan berpikir rasional menunjukkan bahwa pengukuran terhadap kemampuan
intelektual dapat dilakukan untuk meramalkan tingkat keberhasilan seseorang di
masa akan datang. Masing-masing kemampuan berbeda-beda dan berhubungan dengan
daerah otak yang berlainan. Dari sudut perkembangan, IQ dianggap lebih memiliki
dasar genetik daripada lingkungan. IQ masih dapat ditingkatkan dengan cara
memperkaya lingkungan rumah dan luar rumah.
2. Intelegensi
Kreativitas dan Emosional
Proses berpikir yang memungkinkan
untuk melakukan perbandingan, menemukan asosiasi, menentukan alternatif dan
melakukan evaluasi adalah proses yang mendasari berpikir kreatif (creative
quotient) dan kecerdasan emosional (emotional quotient). Berpikir kreatif,
dihubungkan dengan kemampuan untuk berfikir divergen yaitu mencari berbagai variasi
dalam pemecahan suatu masalah sehingga belum tentu ada jawaban benar atau
salah. Sedangkan kecerdasan emosional melibatkan kemampuan menagtur emosi diri
sendiri dan orang lain, membedakannya dan menggunakan informasi tersebut
sebagai pegangan pikiran dan tindakan.
3. Intelegensi
Spiritual
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk
menghadapi dan memecahkan masalah makna, pandangan dan nilai untuk menempatkan
perilaku dan hidup manusia. Kecerdasan spiritual merupakan kekuatan yang
mendasari keberadaan agama, merupakan kecerdasan jiwa atau kecerdasan diri yang
paling mendalam.
Reference:
Hasan, Aliah
B.Purwakania. 2008. Psikologi Perkembangan Islami: menyingkap rahasia rentang
kehidupan manusia dari prakelahiran hingga pascakematian. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
0 komentar:
Post a Comment